Jumat, 27 Juni 2014

SELAMAT GINTING TOKOH DARI KARO ( KILAP SUMAGAN)

Penulis : Hiski Darmayana*
Tanah Karo, sebagai wilayah yang menjadi basis kekuatan politik Marhaenis, pernah melahirkan seorang tokoh yang konsisten memperjuangkan ideologi Marhaenisme dalam tiap langkah perjuangannya. Sejak era kolonial Belanda hingga zaman de-Soekarnoisasi Orde Baru, tokoh yang satu ini tetap teguh berjuang dibawah ‘panji’ Marhaenis. Selamat Ginting, nama tokoh ini, yang juga dikenal dengan nama Kilap Sumagan.
Lahir pada 22 April 1923, Selamat Ginting telah memiliki concern yang besar terhadap dunia pergerakan nasional ketika masih berusia remaja. Ketika beliau sedang menempuh pendidikan menengah di zaman kolonial (HIS), ia telah mengamati kiprah berbagai organisasi pergerakan yang bertendensi nasionalis kerakyatan, seperti Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Partai Indonesia (Partindo), dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI).
Setamatnya dari HIS, Selamat meneruskan pendidikan di Sekolah Ekonomi Kayutanam, Sumatera Barat. Pada saat yang bersamaan, sekolah tersebut tengah dipimpin oleh S.M. Latief yang juga merupakan pemimpin surat kabar Resensi. Surat kabar ini terkenal karena memuat berbagai tulisan resensi yang dibuat oleh tokoh-tokoh pergerakan terkemuka saat itu, antara lain Bung Hatta.
Selamat, yang memang telah memiliki minat besar pada dunia politik, turut pula menyumbangkan satu tulisan yang mengulas buku politik karya Roestam Effendi : Van Moscow naar Tiflis pada surat kabar tersebut. Buku tersebut ia akui sebagai buku politik pertama yang dibacanya. (Buku Van Moscow naar Tiflis dapat dibaca pada tautan berikut ini : Marxists.org/nederlands/effendi/1937/ )
Setelah tuntas mengenyam pendidikan di Sekolah Ekonomi Kayutanam, Selamat pulang ke tanah Karo. Tak lama kemudian, Perang Pasifik meletus dan Jepang menginvasi Indonesia. Hal itu menandai berakhirnya era penjajahan kolonialis Belanda dan dimulainya masa pendudukan Jepang di nusantara, termasuk Tanah Karo.
Selamat pun memutuskan untuk turut berjuang menghadapi penjajah baru dari Asia Timur tersebut, dengan bergabung ke partai yang dibentuk oleh Bung Hatta, Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Namun, pemerintah Jepang yang memang melarang segala kegiatan berbau politik segera membubarkan partai tersebut. Setelah pembubaran itu, Selamat dan kawan-kawan pun membentuk Pusat Ekonomi Rakyat (Pusra) guna membantu menggerakan perekonomian rakyat pada masa itu.
Pasca proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia masih harus menghadapi fase perang kemerdekaan, ketika Belanda berusaha menduduki kembali nusantara termasuk Tanah Karo. Selamat kembali terpanggil untuk berjuang bagi kemerdekaan penuh republik ini. Ia masuk tentara keamanan rakyat dan diangkat menjadi Komandan Sektor III Subteritorium VII Komando Sumatera yang meliputi wilayah Dairi, Tanah Karo, Aceh Tenggara dan Langkat.
Semasa era revolusi, pasukan Selamat dijuluki dengan sebutan “pasukan halilitar” yang dikenal garang dalam setiap pertempuran melawan Belanda. Pasukan Selamat juga dikenal tidak pernah kompromi dengan musuh karena Selamat memiliki prinsip daripada mundur, lebih baik maju mengejar musuh.
Setelah perang kemerdekaan selesai, Selamat memutuskan untuk berkecimpung di dunia politik melalui partai yang dibentuk Bung Karno pada masa kolonial, Partai Nasional Indonesia (PNI). Melalui partai yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno ini, ia sempat menduduki jabatan tertinggi di dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Sumatera Utara pada tahun 1950. Dalam struktur partai sendiri Selamat dipercaya sebagai Pimpinan Daerah PNIwPendidikan Sumatera Utara ditahun 1954.
Kiprah politiknya di daerah menimbulkan keinginan dari pengurus pusat partai untuk ‘menarik’ Selamat ke Jakarta. Selamat pun diberikan amanat untuk menjabat Ketua Departemen Organisasi DPP PNI pada tahun 1955, hampir berbarengan dengan penyelenggaraan pemilu pertama sejak Indonesia merdeka. Pada pemilu itu juga, Selamat berhasil meraih satu kursi di dewan perwakilan rakyat (DPR) mewakili PNI sejak tahun 1956.
Namun, tak lama kemudian meletus pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera, termasuk Sumatera Utara yang merupakan kampung halaman Selamat. Pemberontakan tersebut bernuansa makar terhadap pemerintahan Bung Karno dan merongrong kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena dibekingi pihak asing. Digerakan oleh loyalitasnya terhadap Bung Karno dan NKRI, Selamat pun menghimpun para prajurit yang pernah menjadi anak buahnya dimasa revolusi untuk turut membantu TNI menumpas pemberontakan.
Loyalitasnya terhadap Bung Karno serta ideologi Marhaenis berlanjut dimasa ketika pertentangan antar kekuatan politik, terutama antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan militer makin meruncing pada tahun 1965. Ketika itu, PNI juga dirundung friksi internal. Banyak elemen-elemen ‘kanan’ yang tidak sejalan dengan haluan politik Bung Karno, turut ‘mewarnai’ dinamika internal PNI. Friksi inilah yang kemudian melahirkan dua kubu PNI pasca tragedi 1965, yakni PNI Ali Sastroamidjojo-Surachman (atau yang dikenal PNI-ASU) dan PNI Osa Maliki-Usep Ranawidjaja (Osa-Usep).
Di saat sulit seperti itu, Selamat dengan tegas berdiri dipihak yang menjunjung tinggi ideologi dan haluan politik Bung Karno. Hal ini sejalan dengan pilihan politik PNI kubu Ali-Surachman. Pilihan politik ini pulalah yang membuat Selamat dipecat dari partainya, ketika kubu Osa-Usep yang pro Orde Baru menguasai struktur kepemimpinan partai dalam Kongres partai diBandung tahun 1966.
Pemecatan tersebut tak membuat semangat perjuangan marhaenis dari tanah Karo ini surut. Bersama beberapa anggota PNI loyalis Bung Karno lainnya, Selamat menghadap Bung Karno untuk memohon izin mendirikan partai baru yang terlepas dari PNI namun masih berlandaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno. Hal ini didasari pertimbangan Selamat dan kawan-kawan, bahwa PNI sudah tidak konsisten lagi dengan Marhaenisme serta telah terkontaminasi Orde Baru yang pro-imperialis. Partai yang ingin didirikan oleh Selamat cs itu adalah Partai Rakyat Marhaen (PRM).
Bung Karno pun mendukung, dan berjanji akan meresmikan pendirian partai itu. Tetapi, kenyataan berbicara lain. Bung Karno terjungkal dari kekuasaan sebelum PRM sempat dibentuk.
Namun, Selamat tetap tidak menyerah dan terus berupaya merealisasi niatnya bersama kawan-kawan. Peleburan partai-partai atau fusi yang dilakukan rezim Orde Baru dan menghasilkan penyederhanaan jumlah partai hanya menjadi 2 partai politik dan 1 golongan karya diawal tahun 1970-an tidak pula menyurutkan langkah Selamat. Setelah melewati berbagai rintangan politik dari penguasa, Selamat berhasil membentuk organisasi Gerakan Rakyat Marhaen (GRM) pada tahun 1981.
Hingga akhir hayatnya, Selamat lebih memilih berjuang melalui organisasi GRM ketimbang masuk partai mainstream, termasuk partai yang dianggap ‘reinkarnasi’ PNI sekalipun. Ia tidak bersedia berkecimpung dalam sistem politik yang menurutnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sejati warisan para founding fathers, terutama Bung Karno. Itulah wujud konsistensi Selamat kepada ideologi Marhaenisme selama hidupnya.
Hiski Darmayana, Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
Sumber : Berdikarionline.com

MAKNA GERAKAN TARI (LANDEK) KARO


Beberapa makna gerakan dalam Tari (Landek) Karo:
1. Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.
2. Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu.
3. Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau sama seperti istilah tak kenal maka tak sayang.
4. Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat.
5. Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan.
6. Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna.
7. Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan.
8. Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab.
9. Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.

Peranan Rakoetta S. Brahmana dalam Pembentukan Kabupaten Karo

Peranan Rakoetta S. Brahmana dalam Pembentukan Kabupaten Karo
Taneh Karo meliputi : wilayah-wilayah Kabupaten Karo sekarang, Langkat Hulu, Kota Medan bagian Selatan, Deli Hulu, Serdang Hulu, beberapa kecamatan yang dimekarkan dari Kecamatan Silima Kuta (Kabupaten Simalungun), serta beberapa kecamatan yang dimekarkan dari Kecamatan Taneh Pinem dan Kecamatan Tigalingga (Kabupaten Dairi).
Kabupaten Karo pimpinan Rakoetta meliputi : Kabupaten Karo sekarang ini ditambah Kecamatan Silima Kuta yang sekarang masuk Kabupaten Simalungun dan beberapa kecamatan yang sekarang masuk ke Kabupaten Deliserdang (Kecamatan-kecamatan Kutalimbaru, Pancurbatu, Namorambe, Sibiru-biru dan Sibolangit). Ingat, sebagian wilayah Kota Medan sekarang ini di masa kepemimpinan Rakoetta masuk ke wilayah Kabupaten Karo karena menjadi bagian Kecamatan Pancurbatu dan Kecamatan Namorambe pada saat itu.
Peranan Rakoetta S. Brahmana dalam Pembentukan Kabupaten Karo
Oleh: Juara R. Ginting
PENDAHULUAN
Masing-masing mantan Bupati Kabupaten Karo memiliki kelebihan dan kekurangan, tapi, menurut hemat saya, Kabupaten Karo di masa kepemimpinan Rakoetta Sembiring Brahmana memiliki keistimewaan tersendiri dalam perjalanan sejarah suku Karo.
Di masa kepemimpinan Rakoetta, wilayah Kabupaten Karo meliputi Kabupaten Karo sekarang ini ditambah beberapa kecamatan di luarnya yang sekarang menjadi bagian Kabupaten Deliserdang dan Kabupaten Simalungun. Ini merupakan monumen sejarah yang mengingatkan Taneh Karo tidak terbatas pada wilayah administrasi Kabupaten Karo sekarang.
Memang, wilayah Kabupaten Karo di masa kepemimpinan Rakoetta belum mencakup keseluruhan wilayah Taneh Karo. Langkat Hulu, Kota Medan bagian Selatan, dan Taneh Pinem adalah juga termasuk bagian Taneh Karo yang tidak dimasukkan sebagai bagian wilayah Kabupaten Karo di masa kepemimpinan Rakoetta. Akan tetapi, pernah adanya di suatu masa Kabupaten Karo mencakup wilayah lebih luas dari Kabupaten Karo sekarang ini sangat penting dijadikan sebagai salah satu tonggak sejarah Karo. Tidak hanya sebagai pengingat di masa-masa mendatang, tapi juga dapat menjadi argumentasi konkrit bila saja di belakang hari kita membutuhkan bukti-bukti bahwa Taneh Karo memang mencakup luas di beberapa kabupaten bertetangga ini.
Kai pe labo gelgel, belum tentu peristiwa masa lalu tidak menjadi peristiwa masa depan. Lihat saja pemekaran-pemekaran wilayah administrasi pemerintahan di Indonesia sekarang ini, termasuk daerah-daerah tetangga Kabupaten Karo. Umumnya pemekaran-pemekaran itu mengikuti, atau setidaknya mendekatkan diri kepada, klasifikasi wilayah tradisional mereka di masa Pre Kolonial atau di masa Kolonial atau Pasca Kolonial.
Dalam kesempatan ini, saya hendak menjelaskan secara ringkas konsep Taneh Karo agar kita menyadari pentingnya posisi Kabupaten Karo bukan hanya sebagai wilayah administrasi pemerintahan, tapi juga demi keberadaan masyarakat dan budaya Karo.
TANEH KARO
Suatu kali, saya dan beberapa teman mengadakan perjalanan dengan sebuah Jeep dari Kutarayat (Kabupaten Karo) ke Telagah (Kabupaten Langkat) dan dari Telagah ke Medan. Beberapa hari kemudian kami menyusuri jalan dari Medan lewat Tuntungan, Pasar 10, Gunung Merlawan, Tandak Benua dan keluarnya di Perkemahan Pramuka Bandar Baru. Beberapa hari setelah perjalanan itu, salah seorang mahasiswa Karo yang ikut dalam rombongan kami berkata: “Saya tidak membayangkan sebelumnya bila kampung-kampung yang kita lintasi kemarin itu betul-betul kampung Karo.”
Dalam percakapan selanjutnya, si mahasiswa Karo itu menjelaskan dianya selama ini membayangkan adanya orang-orang Karo berdiam di Langkat Hulu dan Deli Hulu sebagai hasil dari sebuah proses migrasi orang-orang Karo dari wilayah Kabupaten Karo sekarang ini ke daerah-daerah sekitarnya. Seperti kebanyakan generasi muda Karo sekarang ini, dia menganggap wilayah Kabupaten Karo sekarang ini sebagai wilayah asli orang Karo dan selebihnya bukan Taneh Karo yang asli.
Tidak heran bila perjuangan mempertegas bahwa pendiri Kota Medan adalah orang Karo dan situs Benteng Putri Hijau di Delitua adalah bagian dari sejarah Karo kurang disemangati oleh orang-orang Karo sendiri. Salah satu penyebab kurangnya semangat itu adalah karena umumnya orang-orang Karo sekarang ini kurang merasa terhubung dengan sejarah masa lalu Kota Medan dan Benteng Putri Hijau. Rendahnya rasa terhubung itu adalah karena kebutaan terhadap sejarah wilayah Taneh Karo Simalem. Bayangkan bagaimana di masa depan bila sekarang saja kita sudah menjadi awam mengenai Taneh Karo.
Pada tahun 1823, ketika Jhon Anderson mengunjungi rumahnya Sultan Deli di kampung Labuhan (Labuhan Deli dan sekarang berada di Kecamatan Medan Labuhan), dia melihat sebuah giriten di gerbang masuk rumah Sultan. Sultan Deli menjelaskan kepada Jhon Anderson bahwa itu tempat penyimpanan tulang belulang nenek moyangnya yang orang Karo. Bayangkan, kampung Labuhan terletak di antara pusat Kota Medan dengan Belawan. Ketika generasi muda Karo terlahir dan kemudian menginjak remaja melihat Istana Maimun di Kampung Baru (Medan) sekarang akan sangat sulit menerima penjelasan kalau Istana Maimun itu dibangun oleh Belanda. Bisa jadi, mereka malahan menganggap kita mengada-ada bila kita mengatakan lahan tempat berdirinya Istana Maimun itu adalah bagian dari Urung Suka Piring yang berpusat di Delitua.
Bayangkan lagi, saat Jhon Anderson mengunjungi kampung Sunggal di tahun 1823 itu, dia menemukan sekitar 50 rumah adat Karo di sana. Sunggal adalah pusat Urung Sabernaman panteken Surbakti mergana. Urung Sabernaman berbatasan dengan Kejuruan Hamparan Perak di sebelah Utara dan berbatasan dengan Urung Telu Kuru di sebelah Selatan. Urung Telu Kuru berpusat di Lingga yang sekarang masuk wilayah Kecamatan Simpangempat (Kabupaten Karo). Bila kita periksa kampung-kampung yang berada di wilayah Urung Telu Kuru, hanya satu kampung yang didirikan merga Lingga, yaitu kampung Lingga itu sendiri. Selebihnya adalah kampung-kampung merga Surbakti (antara lain: Nangbelawan, Surbakti, Gajah, Doulu, Raja Berneh, Jaranguda), Ginting Suka (Lingga Julu), Kacaribu (Kacaribu) dan Kaban (Kandibata). Hanya 2 kampung Sinulingga di Kabupaten Karo sekarang ini, yaitu Lingga dan Bintangmeriah (Kecamatan Kutabuluh). Di pihak lain, kita temukan begitu banyaknya kampung-kampung Sinulingga di wilayah Urung Sabernaman yang sekarang masuk ke wilayah Kabupaten Deliserdang. Mulai dari Gunung Merlawan yang masuk wilayah Kecamatan Kutalimbaru hingga ke beberapa kampung dekat Tanjung Anom yang masuk ke Kecamatan Pancurbatu.
Menarik untuk mempertanyakan hubungan antara Urung Sabernaman yang merupakan urung merga Surbakti dengan Urung Telu Kuru yang merupakan urung merga Sinulingga. Secara awam, kita menemukan kejanggalan mengapa Urung Telu Kuru menjadi urungnya Sinulingga padahal hanya satu kampung Lingga yang didirikan Sinulingga di wilayah itu. Tidak demikian halnya bila kita tinjau secara Antropologis. Kiranya terjadi sebuah hubungan “pertukaran” (exchange) antara urung-urung di Karo Jahe dengan urung-urung di Karo Gugung. Pemimpin di Urung Telu Kuru adalah Sinulingga sedangkan rakyatnya kebanyakan Surbakti, dan pemimpin di Urung Sabernaman adalah Surbakti sedangkan rakyatnya kebanyakan Sinulingga.
Ulasan lebih lengkap tentang hubungan Karo Gugung dan Karo Jahe dapat dibaca di 2 tulisan saya yang lain: 1. “Kolom Juara R. Ginting: Perlajangen” di http://www.sorasirulo.net/1_1_1297_kolom-juara-r.-ginting-perlajangen.html dan 2. “Inter-group Relation in North Sumatra” di Tribal Community in Malay World: Historical, Cultural and Social Perpectives. Edited by Geoffrey Benjamin & Cynthia Chou: Institute of Southeast Asian Studies, Singapore (2002): halaman 384 - 400.
Inti dari ulasan di atas adalah, tanah ulayat orang Karo tidak terbatas pada wilayah Kabupaten Karo sekarang, tapi meluas ke beberapa bagian dari wilayah Kabupaten-kabupaten Langkat, Simalungun dan Dairi serta Kota Medan.
MASA KOLONIAL
Pernah suatu ketika, pemerintah kolonial Belanda telah membentuk Residen Tapanuli dan Residen Pantai Timur Sumatera. Diantara kedua residen ini terdapat sebuah wilayah yang disebut Zelfstandig Bataklanden (Tanah-tanah Batak Merdeka) karena tidak termasuk ke residen manapun. Tahun 1904, pemerintah kolonial memasukkan wilayah ini ke Residen Pantai Timur Sumatra dengan nama “Afdeling Simalungun en Karolanden” dipimpin oleh seorang controleur yang berkantor di Seribudolok. Afdeling ini nantinya dimekarkan menjadi 2 afdeling: Simalungunlanden dan Karolanden. Pemerintah Jepang mengambil alih sistim pemerintahan ini tanpa merubahnya sedikitpun kecuali menempatkan pemimpin pilihannya dengan jabatan berbahasa Jepang.
Akibat pembagian wilayah administrasi pemerintahan semasa kolonial, Tanah Karo semakin dipojokkan sehingga orang-orang beranggapan bahwa Tanah Karo hanya terbatas pada Dataran Tinggi Karo (Karo Gugung) minus Taneh Pinem yang sudah sebelumnya dimasukkan ke wilayah Residen Tapanuli.
PERANAN RAKOETTA
Pembagian wilayah administrasi pemerintahan sejak awal-awalnya hingga sekarang ternyata tidak pernah sesuai dengan konsep pre-kolonial Taneh Karo yang meliputi Karo Gugung dan Karo Jahe meski perubahan maupun pemekaran telah terjadi beberapa kali. Di sinilah letak pentingnya Kabupaten Karo pimpinan Rakoetta Sembiring Brahmana yang terbentuk pada 13 Maret 1946 dijadikan sebagai Hari Jadi Kabupaten Karo.
Kabupaten Karo pimpinan Rakoetta itu berada diantara 2 konsep Taneh Karo yang berbeda. Di satu sisi, ada pandangan bahwa Taneh Karo terbatas pada wilayah Kabupaten Karo sekarang ini. Di sisi lain, ada konsep bahwa Taneh Karo meliputi wilayah-wilayah Kabupaten Karo sekarang, Langkat Hulu, Kota Medan bagian Selatan, Deli Hulu, Serdang Hulu, beberapa kecamatan yang dimekarkan dari Kecamatan Silima Kuta (Kabupaten Simalungun), serta beberapa kecamatan yang dimekarkan dari Kecamatan Taneh Pinem dan Kecamatan Tigalingga (Kabupaten Dairi).
Kabupaten Karo pimpinan Rakoetta meliputi Kabupaten Karo sekarang ini ditambah Kecamatan Silima Kuta yang sekarang masuk Kabupaten Simalungun dan beberapa kecamatan yang sekarang masuk ke Kabupaten Deliserdang (Kecamatan-kecamatan Kutalimbaru, Pancurbatu, Namorambe, Sibiru-biru dan Sibolangit). Ingat, sebagian wilayah Kota Medan sekarang ini di masa kepemimpinan Rakoetta masuk ke wilayah Kabupaten Karo karena menjadi bagian Kecamatan Pancurbatu dan Kecamatan Namorambe pada saat itu.
Meski wilayah Kabupaten Karo di masa kepemimpinan Rakoetta belum lengkap mewakili pre-kolonial Taneh Karo, menjadikan hari jadinya menjadi hari jadi Kabupaten Karo mengingatkan kita dan generasi-generasi mendatang akan konsep Taneh Karo yang meliputi Karo Gugung dan Karo Jahe.
Catatan :
Tulisan di atas adalah makalah Juara R. Ginting pada Seminar sehari "Mengenang Rakoetta S. Brahmana" di Gedung PPWG GBKP Zentrum, Kabanjahe, pada tanggal 27 September 2009.

Djamin Gintings Menyelamatkan Martabat Republik Indonesia.

Djamin Gintings Menyelamatkan Martabat Republik Indonesia.
Djamin Gintings Selamatkan “Daerah Modal”
Opini
oleh USMAN PELLY
Saya masih ingat sosok perwira-perwira TNI ketika itu. Djamin Gintings orangnya kurus tinggi semampai, selalu pakai peci tentara.
Setelah Kutacane dibombardir dua pesawat pemburu Belanda, esok paginya saya ikut kakek mengungsi ke sebuah desa sekitar 12 km dari kota. Setiap pagi saya dan kakek ke kota dari desa pengungsian itu untuk berjualan di pasar. Kami melewati Macan Kumbang, sebuah perkebunan karet yang dibangun semasa Jepang. Ternyata beberapa minggu sebelum penyerangan pesawat Belanda itu, Macan Kumbang, telah menjadi markas pertahanan Let.Kol. Djamin Gintings, Komandan Resimen IV TNI pindahan dari tanah Karo.
Di kota orang bercerita bahwa markas pertahanan RI itu hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, sesuai kesepakatan Renville. Tanah Karo dianggap sudah menjadi wilayah Belanda dan Negera Sumatra Timur (NST). Karena itu kedudukan Kutacane menjadi penting. Kini Tanah Alas menjadi garis pertahanan RI terdepan menghadapi Belanda. Kota kecil itu bertambah ramai, banyak tentera dan pengungsi dari Tanah Karo dan Dairi. Mereka sibuk mendirikan rumah-rumah darurat dan barak-barak pengungsi. Di pinggir sungai (Lawe) Alas dan Lawe Bulan yang mengapit Kutacane, penuh berjejer Barak pengungsi. Sampai-sampai di halaman rumah Raja Alas (Polonas), didirikan rumah-rumah bambu yang beratap rumbia.
Malam hari, jalan satu-satunya yang membelah kota hingar bingar, motor truk tentera hilir mudik, ada yang membawa pengungsi, pasukan tentera dan korban yang luka tembak, sebahagian besar dari pertempuran di sekitar Mardinding (Desa Perbatasan antara Tanah Karo dan Tanah Alas yang menjadi markas pertahanan Belanda).
Kami melihat Djamin Gintings hanya dari kejauhan, waktu apel bendera pagi di markas Macan Kumbang, ketika kami melintasi markas itu. Atau waktu menghadiri perayaan nasional dan rapat umum di Lapangan Bola Kutacane. Saya masih ingat sosok perwira-perwira TNI ketika itu. Djamin Gintings orangnya kurus tinggi semampai, selalu pakai peci tentara, sedang Kol. Muhammad Din (staf Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo dari Kutaraja). Beliau selalu berpakaian tentera Jepang lengkap dengan samurainya. Kami sangat mengagumi mereka dan selalu bergaya seperti komandan-komandan TNI waktu itu.
Demikianlah rona kehidupan Kutacane, kota kecil di front perbatasan pertahanan RI dan Belanda (1947), sibuk dengan hilir mudik tentera dan pengungsi. Kami siap-siap melompat ke lobang pertahanan yang disiapkan dibelakang sekolah, ketika serine dan pesawat pemburu Belanda datang memuntahkan peluru. Keadaan kota kecil yang sesak itu mulai berobah ketika penyerahan kedaulatan (1950).
Seminar Brastagi
Waktu surat permohonan anak tertua Djamin Gintings, Riemenda Jamin Gintings SH,MH (lahir di Kutacane) dan adiknya Dra Riahna Jamin Gintings, M.Sc datang--agar saya memberi makalah dalam seminar Djamin Gintings di Berastagi--untuk mengusulkan beliau sebagai Pahlawan Nasional, saya sambut dengan baik. Di benak saya terbuhul sesuatu yang terus menggema dari pengalaman semasa remaja di Kutacane dan keberhasilan Djamin Gintings memepertahankan garis batas pertahanan Indonesia-Belanda di Tanah Alas dengan melakukan perang gerilya di Tanah Karo.
Sesuatu yang kemudian makin jelas di benak saya, sesudah saya melakukan studi dari berbagai buku dan catatan historis auto biografi kedua bukunya: ”Titi Bambu” dan ”Bukit Kadir,” serta dua buku standar lainnya seperti ”Kadet Brastagi” (1981) dan ”Jendral Soedirman” (Pribadi, 2009), saya mulai berpikir bahwa Djamin Gintings bukan sembarang hero atau pahlawan perang kemerdekaan. Tetapi beliau telah menyelamatkan daerah modal republik, satu-satunya di luar pulau Jawa.
Perintah Mundur
Atas perintah Kol. Hidayat Komandan Divisi X, yang berkedudukan di Kutaradja, Djamin Gintings diperintahkan mundur ke Tanah Alas Kutacane. Perintah ini merupakan kesepakatan RI dan Belanda yang dituangkan dalam perjanjian Renville (1947). Dalam perjanjian itu semua wilayah Tanah Karo dianggap merupakan daerah pendudukan Belanda, sehingga semua pasukan TNI harus disingkirkan dari daerah itu. Djamin Gintings harus mengosongkan seluruh wilayah Tanah Karo, walaupun sebagian besar wilayah itu, secara de facto masih berada dalam kekuasaan republik, yaitu daerah antara Lisang dan Lau Pakam.
Dengan perasaan perih dan pilu Djamin Gintings dan pasukannya melaksanakan keputusn itu. Semua pasukan Resimen IV mundur ke Tanah Alas dan pasukan Belanda dengan leluasa memasuki daerah-daerah yang dikosongkan itu.
Jendral Soedirman selaku Panglima Besar TNI, waktu itu turut merasakan betapa keputusan Renville itu melukai hati para prajuritnya. Sebab itu melalui radio, beliau menyampaikan amanatnya, ”Anak-anakku anggota Angkatan Perang, tiap-tiap perjuangan mempunyai pasang surutnya, tetapi dengan iman kita tetap teguh dan jiwa yang tetap besar, kita masih tetap sanggup untuk mengatasi percobaan ini dan percobaan-percobaan lainnya yang mungkin akan menyusul lagi.”
Amanat Panglima Besar Jendral Soedirman yang ditutup dengan perintah agar TNI tetap bertanggungjawab terhadap jiwa dan harta rakyat--ternyata mampu menghibur kekecewaan para prajurit TNI--termasuk Djamin Gintings dan pasukannya. Dengan penuh semangat keprajuritan pasukan Resimen IV meninggalkan kantong-kantong gerilya dan markas pertahanannya untuk berhijrah ke Kutacane (Tanah Alas).
Dalam sejarah perang kemerdekaan, hijrah pasukan-pasukan TNI tidak hanya di Tanah Karo tetapi juga di Jawa Barat. Pasukan Siliwangi umpamanya harus hijrah meninggalkan Jawa Barat ke Jawa Timur (yang dikenal dengan istilah the long march dalam film Darah dan Doa, 1952). Luas wilayah republik sesudah perjanjian Renville yang dianggap sebagai ”daerah modal” semakin mengecil dan secara ekonomi dan politis semakin terpojok (Hardiyono 2000).
Di Jawa hanya meliputi Daerah Istimewa Yogyakarta, Surakarta, Kediri, Kedu, Madiun, sebagian Keresidenan Semarang, Pekalongan, Tegal, dan bahagian Selatan Banyumas (Pribadi 2009). Sedang di luar Pulau Jawa hanya tinggal Provinsi Aceh. Mungkin waktu itu tidak semua perajurit TNI yang yang hijrah ke Kutacane, menyadari betapa pentingnya Daerah Modal Aceh untuk dipertahankan, terutama apabila dilihat dari strategi geopolitik nasional dan internasional.
Mengobarkan Perang Grilya
Setelah Macan Kumbang di Kutacane dibangun sebagai markas resimen dan persiapan logistik, permukiman keluarga diselesaikan, maka pembangunan teritorial bersama pejabat pemerintahan Tanah Alas segera dilaksanakan oleh Djamin Gintings. Beliau masuk dan keluar kampung sampai kepelosok Tanah Alas, bertemu dengan Penghulu Kampung (Kepala Desa). Di benak beliau berkecamuk pemikiran, kalau Belanda menyerbu dan menduduki Kutacane, mampukah Resimen IV mempertahankan Tanah Alas dengan mengembangkan perang grilya? Pertanyaan itulah yang hendak beliau jawab.
Tetapi, pada tgl. 22 Desember 1948, malam harinya Djamin Gintings mengumpulkan semua perwira stafnya, dan semua Komandan Batalion. Rapat semalam suntuk sampai pagi hari itu membahas : (1) Apakah Tanah Alas mampu dipertahankan sampai tetes darah terakhir dengan cara militer konvensional, sementara persenjataan yang tidak seimbang dan persediaan amunisi yang terbatas pula, atau (2) TNI melakukan segera serangan terhadap kedudukan Belanda di Tanah Karo, berarti melanggar garis statusquo walaupun dengan cara bergrilya dengan perlengkapan seadanya? (Kadet Brastagi, 1981)
Kedua pertanyaan itu tidak dapat segera dijawab. Apabila Belanda menyerang secara frontal Tanah Alas, dengan peralatan yang modern (panser, tank, pasukan berkuda/logistik) serta backing pesawat tempur, maka Kutacane pasti dapat segera diduduki Belanda. Ketika Tanah Alas jatuh ke tangan Belanda, maka Blang Kejeren, Singkel dan Aceh Selatan akan terancam pula. Daerah belakang Aceh ini, merupakan titik-titik lemah pertahanan Provinsi Aceh. Memang pertahanan Aceh bagian Timur dan sepanjang rel kereta api cukup kuat dan solid. Karena itu pula, waktu ada usul mengganti Djamin Gintings sebagai Komandan Resimen IV yang pindah ke Kutacane dengan Kol. Muhammad Dien. Tapi Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo waktu itu, Tgk. M. Daud Beureueh tidak setuju dan tetap mempertahankan Djamin Gintings. Tanah Karo dan Djamin Gintings tidak mungkin dipisahkan, sedangkan Tanah Karo merupakan bumper (penyangga) daerah belakang Provinsi Aceh yang menjadi modal republik.
Keesokan hari, sekitar jam tujuh pagi setelah perundingan di markas Macan Kumbang itu, pesawat tempur Belanda kembali memuntahkan pelurunya kearah pertahanan Djamin Gintings. Anehnya, Let.Kol. Djamin Gintings, seakan mendapat isyarat dari serangan udara itu untuk bertindak cepat. Tanpa meminta persetujuan Komandan Divisi (Kol.Hidayat di Kutaraja), beliau memutuskan untuk segera menyerang Mardinding dan Lau Balang. Keduanya adalah pos terdepan Belanda di Tanah Karo yang berbatasan langsung dengan Aceh (Tanah Alas).
Keputusan merebut kedua benteng Belanda ini, bertepatan pula dengan siaran radio yang menyatakan Belanda telah menyerbu dan menduduki Yogyakarta, Presiden dan Wakil Presiden RI kemudian ditawan. Dalam pidato singkat penyerbuan ke Tanah Karo, Djamin Gintings sebagai Komandan Resimen IV, terus terang menyatakan bahwa ” ...memang saya belum mendapat perintah dari Komandan Divisi ... tetapi demi keselamatan Negara RI saya akan memikul tanggung jawab penuh untuk segera menyerang daaerah yang diduduki Belanda itu ...”
Penyerangan mendadak dan berani yang dilakukan Djamin Gintings ini, memang di luar dugaan Belanda, sehingga Belanda kucar-kacir mempertahankan Mardinding dan Lau Balang. Hanya dengan keunggulan senjata, bantuan pasukan berlapis baja dari Kabanjahe dan logistik militer yang kuat, serta merelakan korban yang tidak sedikit, Belanda dapat bertahan. Begitu juga dipihak Resimen IV, banyak korban dan peristiwa tragis yang mereka lalui seperti pristiwa Bukit Kadir yang menewaskan perwira resimen Abd.Kadir yang gagah berani.
Dampak penyerbuan Mardinding dan Lau Balang (walaupun tidak berhasil direbut), menyebabkan semua pasukan Belanda harus mengkonsentrasikan diri pada benteng yang lebih permanen dan kuat menghadapi pasukan Djamin Gintings. Apalagi sesudah serangan frontal itu, Djamin Gintings mengobarkan perang grilya. Taktik hit and run (serang dan menghindar)--selalu menimbulkan kerusakan yang tidak terduga di pihak Belanda. Demikianlah selama tujuh bulan (Januari s/d Agustus 1949), perang grilya berkecamuk menyebabkan Belanda terkooptasi di Tanah Karo, dan terpaksa melupakan serangan ke Kutacane (Tanah Alas), sampai penyerahan kedaulatan (1950).
Dalam Konperensi Meja Bundar (23 Agustus 1949), Provinsi Aceh secara utuh dapat didaftarkan sebagai ”daerah modal” Republik Indonesia di luar pulau Jawa dalam status RI sebagai salah satu negara bagian dari RIS. Djamin Gintings telah berhasil menyelamatkan daerah modal itu, yang berarti menyelamatkan martabat Republik Indonesia terutama di mata dunia internasional. Djamin Gintings bukan sembarang pahlawan kemerdekaan.
MONDAY, 07 MAY 2012 02:29
(dat03/wol/waspada)
Sumber : Waspada

Surat Pudjian Hatta Pada Rakjat Tanah karo Surat Pujian Wakil Presiden Republik Indonesia Bukittinggi, 1 Januari 1948

Surat Pudjian Hatta Pada Rakjat Tanah karo
Surat Pujian
Wakil Presiden Republik Indonesia
Bukittinggi, 1 Januari 1948
“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kucintai”.
Merdeka!
Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara yang rumah habis dibakar dari pada kampung halamannya jatuh ke tangan musuh yang ganas, yang terus menyerang dan melebarkan daerah perampasannya sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO. Tetapi kami sebaliknya merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.
Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati.
Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangunkan lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar penderitaan Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan.
Rakyat yang bertekad sedemikian dan inilah benar-benar tekad rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.
Di atas kampung dan halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia, dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.
Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu:
“Sekali Merdeka Tetap Merdeka”.
Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia
Agresi I Militer Belanda
Kabar-kabar angin bahwa Belanda akan melancarkan agresi I militernya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia kian semakin santer, puncaknya, pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area. Serangan ini mereka namakan “Polisionel Actie” yang sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru mendekati 2 tahun.
Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, Wakil Presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2 hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, setalah mendengar jatuhnya Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya serangan-serangan dari pasukan Belanda.
Rute yang dilalui Wakil Presiden adalah Berastagi-Merek-Sidikalang-Siborong-borong-Sibolga-Padang Sidempuan dan Bukit Tinggi. Di Berastagi, Wakil Presiden masih sempat mengadakan resepsi kecil ditemani Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan, Bupati Karo Rakutta Sembiring dan dihadiri Komandan Resimen I Letkol Djamin Ginting’s, Komandan Laskar Rakyat Napindo Halilintar Mayor Selamat Ginting, Komandan Laskar Rakyat Barisan Harimau Liar (BHL) Payung Bangun dan para pejuang lainnya, di penginapan beliau Grand Hotel Berastagi. Dalam pertemuan itu Wakil Presiden memberi penjelasan tentang situasi negara secara umum dan situasi khusus serta hal-hal yang akan dihadapi Bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang.
Selesai memberi petunjuk, kepada beliau ditanyakan kiranya ingin ke mana, sehubungan dengan serangan Belanda yang sudah menduduki Pematang Siantar dan akan menduduki Kabanjahe dan Berastagi. Wakil Presiden selanjutnya melakukan:
“Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap supaya saudara-saudara usahakan, supaya saya dapat ke Bukit Tinggi untuk memimpin perjuangan kita dari Pusat Sumatera”.
Setelah Wakil Presiden mengambil keputusan untuk berangkat ke Bukit Tinggi via Merek, segera Komandan Resimen I, Komandan Napindo Halilintar dan Komandan BHL, menyiapkan Pasukan pengaman. Mengingat daerah yang dilalui adalah persimpangan Merek, sudah dianggap dalam keadaan sangat berbahaya.
Apabila Belanda dapat merebut pertahanan kita di Seribu Dolok, maka Belanda akan dengan mudah dapat mencapai Merek, oleh sebab itu kompi markas dan sisa-sisa pecahan pasukan yang datang dari Binjai, siang harinya lebih dahulu dikirim ke Merek. Komandan Resimen I Letkol Djamin, memutuskan, memerlukan Pengawalan dan pengamanan Wakil Presiden, maka ditetapkan satu pleton dari Batalyon II TRI Resimen I untuk memperkuat pertahanan di sekitar gunung Sipiso-piso yang menghadap ke Seribu Dolok, oleh Napindo Halilintar ditetapkan pasukan Kapten Pala Bangun dan Kapten Bangsi Sembiring.
Sesudah persiapan rampung seluruhnya selesai makan sahur, waktu itu kebetulan bulan puasa, berangkatlah Wakil Presiden dan rombongan antara lain: Wangsa Wijaya (Sekretaris Priadi), Ruslan Batangharis dan Williem Hutabarat (Ajudan), Gubernur Sumatera Timur Mr. TM. Hasan menuju Merek. Upacara perpisahan singkat berlangsung menjelang subuh di tengah-tengah jalan raya dalam pelukan hawa dingin yang menyusup ke tulang sum-sum.
Sedang sayup-sayup terdengar tembakan dari arah Seribu Dolok, rupanya telah terjadi tembak-menembak antara pasukan musuh / Belanda dengan pasukan-pasukan kita yang bertahan di sekitar Gunung Sipiso-piso.
Seraya memeluk Bupati Tanah Karo Rakutta Sembiring, wakil presiden mengucapkan selamat tinggal dan selamat berjuang kepada rakyat Tanah Karo. Kemudian berangkatlah Wakil Presiden dan rombongan, meninggalkan Merek langsung ke Sidikalang untuk selanjutnya menuju Bukit Tinggi via Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan.
Sementara itu, keadaan keresidenan Sumatera Timur semakin genting, serangan pasukan Belanda semakin gencar. Akibatnya, ibu negeri yang sebelumnya berkedudukan di Medan pindah ke Tebing Tinggi.
Bupati Rakutta Sembiring, juga menjadikan kota Tiga Binanga menjadi Ibu negeri Kabupaten Karo, setelah Tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi, pada tanggal 1 Agustus 1947.
Namun sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan Api.
Taktik bumi hangus ini, sungguh merupakan pengorbanan yang luar biasa dari rakyat Karo demi mempertahankan cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki termasuk desa dengan segala isinya.
Kenyataan itu telah menyebabkan wakil presiden mengeluarkan keputusan penting mengenai pembagian daerah dan status daerah di Sumatera Utara yang berbunyi sebagai berikut:
“Dengan surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan di Bukit Tinggi, maka daerah-daerah keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, kabupaten Tanah Karo, dijadikan satu daerah pemerintahan militer dengan Teungku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer. Sedangkan daerah-daerah keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan Militer dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal.”
Selanjutnya melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat karo ini, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948. Adapun surat Wakil Presiden tersebut terlihat seperti prasasti di atas (terletak di Lau Gumba-Bukit Kubu - red) selengkapnya (alih bahasa menurut website Pemkab. Karo) sebagai berikut :
Bukittinggi, 1 Januari 1948
“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kuncintai”.
Merdeka!
Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah perampasan secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO.
Tetapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.
Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Demikian pulalah tekad Rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.
Di atas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.
Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”.
Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia
Selanjutnya, untuk melancarkan roda perekonomian rakyat di daerah yang belum diduduki Belanda, Bupati Rakutta Sembiring mengeluarkan uang pemerintah Kabupaten Karo yang dicetak secara sederhana dan digunakan sebagai pembayaran yang sah di daerah Kabupaten Karo.
Akibat serangan pasukan Belanda yang semakin gencar, akhirnya pada tanggal 25 Nopember 1947, Tiga Binanga jatuh ke tangan Belanda dan Bupati Rakutta Sembiring memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Karo ke Lau Baleng. Di Lau Baleng, kesibukan utama yang dihadapi Bupati Karo beserta perangkatnya adalah menangani pengungsi yang berdatangan dari segala pelosok desa dengan mengadakan dapur umum dan pelayanan kesehatan juga pencetakan uang pemerintahan Kabupaten Karo untuk membiayai perjuangan.
Setelah perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, Pemerintah RI memerintahkan seluruh Angkatan Bersenjata Republik harus keluar dari kantung-kantung persembunyian dan hijrah ke seberang dari Van Mook yaitu daerah yang dikuasai secara de jure oleh Republik.
Barisan bersenjata di Sumatera Timur yang berada di kantung-kantung Deli Serdang dan Asahan Hijrah menyeberang ke Labuhan Batu. Demikian pula pasukan yang berada di Tanah Karo dihijrahkan ke Aceh Tenggara, Dairi dan Sipirok Tapanuli Selatan. Pasukan Resimen I pimpinan Letkol Djamin Ginting hijrah ke Lembah Alas Aceh Tenggara. Pasukan Napindo Halilintar pimpinan Mayor Selamat Ginting hijrah ke Dairi dan pasukan BHL pimpinan Mayor Payung Bangun hijrah ke Sipirok Tapanuli Selatan.
Berdasarkan ketentuan ini, dengan sendirinya Pemerintah Republik pun harus pindah ke seberang garis Van mook, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Karo yang pindah mengungsi dari Lau Baleng ke Kotacane pada tanggal 7 Pebruari 1948. Di Kotacane, Bupati Rakutta Sembiring dibantu oleh Patih Netap Bukit, Sekretaris Kantor Tarigan, Keuangan Tambaten S. Brahmana, dilengkapi dengan 14 orang tenaga inti.
Selanjutnya untuk memperkuat posisi mereka, Belanda mendirikan Negara Sumatera Timur. Untuk daerah Tanah Karo Belanda menghidupkan kembali stelsel atau sistem pemerintahan di zaman penjajahan Belanda sebelum perang dunia kedua.
Administrasi pemerintahan tetap disebut Onder Afdeling De Karo Landen, dikepalai oleh seorang yang berpangkat Asisten Residen bangsa Belanda berkedudukan di Kabanjahe. Di tiap kerajaan (Zeifbesturen) wilayahnya diganti dengan Districk sedangkan wilayah kerajaan urung dirubah namanya menjadi Onderdistrick.
Adapun susunan Pemerintahan Tanah Karo dalam lingkungan Negara Sumatera Timur adalah: Plaatslijkbestuur Ambteenaar, A. Hoof. Districthoofd Van Lingga, Sibayak R. Kelelong Sinulingga, Districhoofd Van Suka, Sibayak Raja Sungkunen Ginting Suka, Districhoofd Van Sarinembah, Sibayak Gindar S. Meliala, Districthoofd Van Kuta Buluh, Sibayak Litmalem Perangin-angin.